BANYUWANGI DAN HARMONI KERAGAMAN BUDAYA
Oleh Hasan Basri
Info Budaya : Eskavasi situs Kendenglembu Desa Karangharjo Kecamatan Glenmore tahun 2008 oleh Balai Arkeologi Yogyakarta ditemukan alat batu, tembikar, beliung, plank, batu inti, tatal, gerabah slip merah, batu pukul, batu asah yang merupakan peralatan budaya neolitik (bercocok tanam).
Situs Kendenglembu adalah satu diantara dua (yang baru ditemukan) kompleks situs permukiman murni neolitik di Indonesia
Situs tersebut memiliki konteks keterkaitan secara global dengan situs-situs permukiman neolitik lainnya di kawasan Asia Pasifik.
Nilai signifikansi situs Kendenglembu secara khusus adalah merepresentasikan awal koloni penutur bahasa Austronesia di Pulau Jawa dan sebagai etnogenesis bangsa Indonesia pada umumnya. Situs ini juga menegaskan lagi alur migrasi nenek moyang bangsa Indonesia dari Taiwan ke selatan menuju Philipina, Kalimantan dan di Kendenglembu.
Baca : Hastag Jangan Meninggal Sebelum Ke Toraja
Robert Blust berpendapat bahwa kelompok bahasa Jawa-Bali-Sasak memiliki hubungan yang erat dengan kelompok bahasa Melayu-Campa dan bahasa Barito di Kalimantan Selatan.
Lekkerkerker penulis Belanda tahun 1923 melaporkan ketika dibangun terowongan kereta api di Merawan ditemukan monumen-monumen peninggalan berupa kuburan batu (dolmen) bercorak megalitik.
Dengan demikian dipastikan di Banyuwangi telah bermukim manusia sejak jaman prasejarah.
Penelitian Suparman Herusantoso (Disertasi UI 1987) menyimpulkan bahwa melalui uji leksikostatistik Bahasa Using memisahkan diri dari Bahasa Jawa Kuno pada tahun 1163 atau 1174 M. Sejumlah unsur Bahasa Using berasal dari Jawa Kuno dan sejumlah unsur yang lain berasal dari Proto Austronesia (PAN).
Cerita “Sritanjung” yang berasal dari Banyuwangi sudah terkenal sejak abad 12-an. Cerita ini dipahat di candi Surawana Kediri dan candi Penataran Blitar.
P.J. Zoetmulder menjelaskan karakter cerita Sritanjung berbeda dengan karya-karya sastra Jawa pada umumnya, yakni menampilkan sifat kerakyatan dan tidak ada latar belakang keraton. Cerita Sritanjung dilatarbelakangi oleh kepercayan pra Hindu (1985: 539-540).
Baca : Ide Traveling Seni dan Sastra Paling Populer
Ensiklopedi Indonesia menyebutkan bahwa pernah ada aliran sastra yang bernama “Aliran Sastra Banyuwangi” yang ditandai dengan naskah Sritanjung dan Sang Satyawan (A-Cer-hal. 399).
Blambangan/Banyuwangi merupakan daerah paling akhir di Jawa yang menerima Islam. Berbagai upaya dilakukan oleh Mataram maupun Belanda mengIslamkan Banyuwangi guna memutus hubungan dengan Bali. Sampai abad ke-18 masyarakat Cungking masih memeluk agama Syiwais.
Karenanya berbagai upacara ritual shamanisme seperti “seblang”, “kebo-keboan”, “keboan”, “barong”, “sanghiyang”, “ider bumi” subur di Banyuwangi. Penari Seblang yang trance, sebenarnya sebagai perantara. Shamanisme bisa dirujuk ke kepercayaan pra-agama-agama besar. Shamanisme berkembang di Kutub Utara, Eskimo, Rusia Timur, Korea, Cina, Asia Tenggara.
Dalam keadaan trance seblang dan shaman yang lain: keboan, barong, menjadi perantara dialog dengan kekuatan adi kodrati terdekat.
Baca : Kalau Belum Coba Kaledo Berarti Belum ke Palu
Secara historis Blambangan merupakan dinasti yang labil. I Made Sudjana menyebut “Nagari Tawon Madu”, negeri yang selalu berpindah-pindah mengikuti raja. Perpindahan kerajaan mulai dari Lamajang, Panarukan, Kedawung, Bayu, Macanputih, Kebrukan, Lateng, Ulupampang, Tirtaganda.
Ulupampang sebagai pelabuhan besar berkumpul penduduk berbagai etnik. Mandar Bugis, Buton, Cina, Madura, dan lain-lain Inggris kemudian Belanda.
Usai Perang Bayu, Banyuwangi nyaris tak berpenduduk. Belanda secara sistematis mendatangkan migran dari Madura, Jawa Tengah dan Jawa Barat yang kemudian membentuk komposisi penduduk yang multi etnik.
Sifat terbuka penduduk asli (Osing) berpikir praktis, simple, terus terang, ingin gampangnya saja, membangun interaksi harmonis antar etnis melahirkan berbagai silang budaya mencipta seni hybrid yang kaya warna. Mulai dari gandrung, rengganis, hadrah, kuntulan, jenger, angklung, mocoan, jaranan buto, dll. Rujak soto adalah bukti cara berfikir orang Osing yang simpel.
LATAR BELAKAG
Latar belakang historis non keraton melahirkan budaya/kesenian berbasis rakyat. Tumbuh dari rakyat. Bandingkan dengan kesenian yang berbasis keraton. Karena itu kesenian Banyuwangi tidak mengenal pakem. Tidak ada standarisasi. Hal ini menjadikan kesenian Banywangi mempunyai ruang bebas mengembangkan kreatifitas dan menjamin keberlangsungan dinamikanya.
Baca : Keutuhan Keluarga dan Goa Margo Tresno
Kesenian Banyuwangi bisa bermetamorfose seperti apapun tidak menyalahi norma berkesenian. Janger adalah bukti ekstrim kesenian Banyuwangi yang bermetamorfose secara bebas Bali-Jawa-Osing. Demikianpun kesenian yang lain. Rengganis adalah persilangan Jawa-Islam-Osing. Gandrung, persilangan Osing-Jawa-Eropa-Melayu-Madura. Jaranan buto, persilangan Jawa-Osing.
Latar belakang non keraton juga tercermin dalam struktur bahasa Osing yang tidak mengenal tingkatan tutur. Bahasa Osing yang cair, egaliter sebagaimana bahasa pesisiran yang lain melahirkan tata pergaulan yang setara tidak hirarkhis. Singkat kata, demokratis. Interaksi sosial dengan media bahasa Osing lebih efektif karena tidak terhambat oleh sekat sosial.
Karakter orang Osing yang lain adalah sifat kompetitif yang diwujudkan dalam kompetisi terbuka menghadapkan dua grup kesenian dalam satu panggung. Awal-awalnya kesenian ”Angklung Caruk”, kesenian yang menghadapkan dua grup orkresta tradisional yang mengadu kreatifitas dan inprovisasi.
Kompetisinya terbuka, tanpa ada hakim. Hakimnya ya penonton itu sendiri. Walau suasana pertunjukan sangat panas dan emosional, namun jarang terjadi konflik terbuka. Ada yang berpendapat hal ini dikarenakan peran praktek magis telah berperan penyelesai masalah. Mengapa harus konflik terbuka kalau bisa diselesaikan secara magis. Selanjutnya hampir semua kesenian diadu, dicarukkan. Hadrah caruk, kuntulan caruk, barong carok dll.
Kepercayaan dan nilai-nilai spiritual banyak mempengaruhi kesenian Banyuwangi. Gandrung adalah contoh satu-satunya kesenian di nusantara yang bermahkota. Hal ini dipengaruhi sikap dan kepercayaan orang Osing bahwa gandrung sejatinya adalah personifikasi Dewi Sri. Karenanya sebenarnya gandrung awalnya lebih berfungsi sebagai ekspresi ritual dari pada hiburan. Makna simbolik ornament kostum gandrung semuanya adalah wujud kongkrit nilai-nilai spiritual yang abstrak.
Kondisi geografis yang subur dan unik, sawah subur dan gunung yang dekat dengan pesisir, membentuk budaya agraris sekaligus pesisir. Gandrung, barong, jelas ekspresi budaya agraris tapi tak bisa melepaskan diri dari pengaruh budaya pesisir yang ditandai oleh komposisi warna terang dan kuat. Bahkan kesenian kuntulan yang berbasis kultur Islam lebih banyak didominasi warna kuning, hijau, merah, bukan warna putih.
Tipisnya kultur keraton dan kuatnya basis rakyat melahirkan lagu-lagu Osing yang umumnya bertemakan rakyat. Mulai dari gending-gending klasik gandrung “Podho Nonton” (berisi pesan konsolidasi perlawanan rakyat terhadap penguasa), “Seblang Lokinto” (berisi pesan taktik perang gerilya), “Layar Kumendhung” (berisi pesan semangat menghidupi kebutuhan keluarga).
Lagu “Genjer-genjer” yang berisi sindiran dan menggambarkan penderitaan rakyat jaman pendudukan Jepang yang dicipta oleh Moh. Arif tahun 1942 sangat populer pada jamannya dan menjadi pioner lagu daerah yang merambah pasar nasional. Lagu ini direkam dan dinyanyikan oleh artis serba bisa Bing Slamet pada tahun 1950-an dalam bentuk piringan hitam. Sayang lagu ini ternoda dijadikan sarana propaganda politik partai komunis.
Lagu pop Banyuwangi mulai dari kendang kempul sampai era Catur Arum menjadi fenomena menarik yang membuktikn bahwa di Banyuwangi lagu dan music lokal masih menjadi pilihan utama masyarakat. Hal ini jarang ditemukan di daerah lain kecuali di Sunda, Bali dan Sumata Barat. Sedemikian besar gairah produksi rekaman lagu pop Banyuwangi menjadikan lahan kreativitas ini tidak hanya bertumpu pada pemodal tapi juga berkembang menjadi home industry.
Baca : Ada Apa dengan Bambu di Banyuwangi
Dalam satu bulan produksi rekaman lagu bisa puluhan dengan pangsa pasar sampai luar Banyuwangi; Bali, Jember, Lumajang, Surabaya, Jawa Tengah, sampai luar Pulau Jawa. Sebenarnya lagu pop Banyuwangi berperan penting dalam promosi budaya Banyuwangi ke luar daerah, bahkan berperan aktif sebagai peran perembesan budaya Banyuwangi ke luar garis wilayah budayanya.
Upaya memperkokoh budaya Banyuwangi dalam relasi antar budaya baik lokal maupun global terus dinamis. Ide-ide baru, kreatifitas seni terus berkembang dengan ruang ekspresi yang beragam. Kiranya harapan akan terjaganya dinamika kebudayaan Banyuwangi yang bertumpu pada potensi keberagaman dan penghargaan atas keberbedaan serta kekuatan nilai lokal dapat diharapkan dengan tumbuhnya komitmen bersama tentang pentingnya berdiri di atas kekuatan lokal di tengah pergaulan global.
Bahan Bacaan:
Anderson, Benedict R
Sembah-Sumpah, Politk Bahasa dan Kebudayaan Jawa, Prisma 11 November 1982.
Andrew Beaty
Variasi Agama di Jawa, Murai Kencana, 2001
Arifin, Winarsih Partaningat
Babad Blambangan, Yogyakarta, Bentang, 1995
Ensiklopedi Indonesia. Jilid I. Jakarta: Ikhtiar Baru Van-Hoeve, 1987.
I Made Sudjana
Nagari Tawon Madu, Larasan Sejarah 2008
Balai Arkeologi Yogyakarta
Laporan Penelitian Arkeologi, Karakter Budaya Dan Kronologi Hunian Situs Kendenglembu, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, Survey Permukiman Neolitik Di Sepanjang Aliran Kali Lele, Sungai Lembu Dan Sungai Karang Tambak, 2009.
Lekkerkerker
Balambangan. Indiche Gids. 1923: 1030-1067
Stoppelaar, de W.J.
Blamabangan Adatrech. Wagenigen, 1927.
Suparman Heru Santosa
Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi, Disertasi, UI, 1982.
Zoetmulder
Kalangwan, Djambatan, Jakarta, 1983.