Purwo sebagai tokoh yang berperan dalam kelahiran Wayang Topeng Jatiduwur
Info Budaya : Purwo sebagai tokoh yang berperan dalam kelahiran Wayang Topeng Jatiduwur diceritakan bahwa pada masa mudanya senang berpetualang atau berkelana mencari ilmu.
Dalam pengembaraannya Purwo bertemu seorang gadis dari Desa Jatiduwur, selanjutnya mereka berjodoh (menikah) dan akhirnya mereka bertempat tinggal menetap di Desa Jatiduwur sampai akhir hayat.
Sebelum bertempat tinggal menetap di Desa Jatiduwur, Purwo memiliki dua buah topeng warisan dari leluhurnya (orang tuanya) yakni topeng yang menggambarkan tokoh Klono dan Panji .
Warisan topeng Klono dan Panji tersebut oleh Purwo dianggap sebagai pusaka, maka ke manapun Purwo pergi, pusaka tersebut selalu dibawa serta.
Beberapa tahun setelah Purwo tinggal di Desa Jatiduwur, berkeinginan untuk memperbanyak koleksi topengnya, maka ia mencoba untuk membuatnya sendiri. Topeng yang dibuatnya terdapat berbagai bentuk karakter di antaranya tokoh putri, bapang, pendeta, prajurit dan sebagainya.
Baca : Berkesenian secara mandiri kok bisa
Dalam proses pembuatan topeng dengan berbagai karakter sebagaimana yang diinginkan, Purwo melakukannya dengan berbagai laku ritual dengan harapan dan keyakinan agar mendapatkan hasil yang bagus dan memiliki kekuatan estetis.
Adapun proses pembuatan topeng yang dilakukan di antaranya memilih bertempat di bawah pohon beringin yang ada di Desa Jatiduwur dan waktunya juga dipilih pada setiap hari Jum’at Legi.
Selain melalui pemilihan waktu dalam proses pembuatan topeng tersebut, Purwo juga melakukan puasa dan bersemedi (melakukan kontemplasi) sehari-semalam, agar mendapatkan pencerahan terutama untuk mendapatkan gambaran mengenai wujud karakter tokoh yang diinginkan.
Oleh karena proses pembuatan yang harus disertai dengan berbagai laku ritual, maka untuk menghasilkan topeng dengan jumlah banyak, dalam proses pembuatannya memakan waktu selama bertahun-tahun. Pada akhirnya Purwo berhasil mewujudkan topeng buatannya sejumlah 31 buah, sehingga secara keseluruhan jumlah topeng yang dimilikinya ada 33 buah.
Setelah berhasil mewujudkan karya topeng berjumlah 31 buah yang terdiri dari berbagai karakter, selanjutnya Purwo melengkapinya dengan perlengkapan property dan busana sesuai dengan karakter tokoh. Selain itu juga dilengkapi dengan seperangkat gamelan. Menurut penuturan versi masyarakat Jatiduwur, bahwa perlengkapan gamelan yang dimiliki oleh Purwo dibelinya dari Desa Karang Belah Kecamatan Sumobito Jombang.
Setelah berhasil mempersiapkan berbagai perangkat pertunjukan wayang topeng tersebut, selanjutnya Purwo mulai merekrut anggota yang bersedia diajak bergabung untuk mewujudkan gagasannya dalam membentuk kelompok kesenian wayang topeng.
Sebagai langkah awal, Purwo mengajak beberapa famili yang tinggal di Desa Jatiduwur untuk dilatih menari sambil memainkan topeng, serta sebagai penabuh gamelan. Purwo sendiri yang melatih, sekaligus bertindak sebagai Dalang. Akhirnya Purwo bersama kerabatnya berhasil mewujudkan pertunjukan wayang topeng di Desa Jatiduwur yang diselenggarakan dalam rangka ritual bersih desa tersebut.
Masyarakat mengetahui bahwa dalam mewujudkan karya topeng-topengnya, Purwo melakukannya dengan proses laku ritual. Oleh karena itu, maka topeng-topeng yang digunakan sebagai media dalam pertunjukan wayang topeng bersih desa juga dianggap sakral.
Baca : Wayang Topeng Zaman Majapahit di Jatiduwur
Hal itu bisa saja terjadi mengingat bahwa ritual bersih desa juga dianggap oleh masyarakat sebagai acara komunal masyarakat dan dianggap sakral. Oleh karena kesakralannya masyarakat meyakini bahwa kesenian wayang topeng di Desa Jatiduwur memiliki kekuatan gaib, atau keramat, dapat menyembuhkan wabah penyakit bagi masyarakat di Desa Jatidhuwur.
Dalam pertumbuhan selanjutnya, pertunjukan wayang topeng di Desa Jatiduwur sangat diminati masyarakat, dan kehadiran pertunjukan wayang topeng memiliki kontribusi besar bagi masyarakat Desa Jatiduwur.
Masyarakat memfungsikan pertunjukan Wayang Topeng Jatiduwur sebagai sarana ritual yaitu, penyembuhan penyakit, sebagai sarana pemenuhan nadzar, dan ritual lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya, eksistensi seni pertunjukan Wayang Topeng Jatiduwur tidak saja berfungsi sebagai seni pertunjukan ritual, tetapi berkembang sebagai seni hiburan popular.
Masyarakat menghadirkan pertunjukan Wayang Topeng Jatiduwur dalam berbagai hajatan sosial seperti, pernikahan, khitanan, nadzaran, syukuran ataupun dalam peringatan kemerdekaan Republik Indonesia. Eksistensi Wayang Topeng Jatiduwur mulai menurun pada dekade akhir abad 20.
Setelah Purwo sebagai tokoh kunci lahirnya Wayang Topeng Jatiduwur meninggal, pengelola organisasi (kelompok) dipegang oleh keturunan Purwo, demikian pula dalangnya. Perangkat pertunjukan wayang topeng diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Mitos yang berkembang dalam masyarakat Jatiduwur, bahwa pemegang warisan tersebut harus orang yang masih memiliki darah keturunan dari Purwo, maka seluruh perangkat pertunjukan mulai dari topeng hingga perlengkapan pendukung lainnya harus ditempatkan pula di rumah keturunan Purwo. Demikian halnya keturunan Purwo inilah yang selalu menjadi dalang dalam pertunjukan wayang topeng. (Sumber DK-Jatim)