Di usianya yang senja, Karlan seakan tak goyah menjaga kesenian topeng sandur. Walaupun sepi order, Karlan berupaya agar seni tradisi di Jombang, Jawa Timur, yang kini terancam punah itu bisa bertahan.
Sepasang mata renta Karlan menatap truk bermesin diesel yang di bagian bak kayunya bertulis “CAMPURSARI MADU LARAS” Di sekitar truk itu ada sejumlah perempuan muda dan laki-laki yang tengah hangat berdiskusi diiringi gelegar musik dangdut.
Tak berapa lama truk yang biasa digunakan sebagai pengangkut peralatan musik, kru. Dan artis pendukung itu melesat dari tempat parkir. Bisnis hiburan ala campursari dan orkes dangdut seakan tak pernah sepi. Jenis hiburan itu selalu ramai undangan, dari satu desa ke desa lain.
“Wah kalo kelompok campursari itu sih sangat sering mendapatkan order manggung,” kata Karlan tentang bisnis yang dirintis Warito, anak tertuanya. Sayangnya, Karlan bukan anggota orkes dangdut atau campursari yang tengah naik daun itu. Ia merupakan satu-satunya seniman di Indonesia yang hingga detik ini terus setia mementaskan topeng sandur.
Kesenian topeng sandur hanya ada di Dusun Guwo, Desa Manduro, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang. Menurut Mantan Ketua Program Dewan Kesenian Provinsi Jawa Timur Heri “Lentho” Prasetyo, kesenian topeng sandur termasuk salah satu aplikasi Budaya Panji di Nusantara.
Mengenal budaya Indonesia serta mengenal kearifan lokal, baik seni seperti alat musik, tari-tarian pakaian, seperti masyarakatnya, baik awal mula terbentuknya letak lokasi.
Heri menjelaskan, sandur yang mengandung arti sebagai Teater Rakyat sebetulnya juga ada di beberapa wilayah lain di Jawa Timur, seperti di Kabupaten Lamongan. Namun, topeng sandur hanya ada di Jombang atau tepatnya di Dusun Guwo.
Kesenian topeng sandur pimpinan Karlan memang harus menyerah pada berbagai bentuk kesenian panggung modern dan Kontemporer. Fakta itu semakin buruk karena kondisi kesehatan Karlan yang terus menurun dalam setahun belakangan ini.
Bagian kaki dan tangan Karlan diserang penyakit kulit. Penyakit itu cenderung menyebar dan menimbulkan sejumlah luka terbuka. Perawatan medis sudah dilakukan, tetapi penyakit itu belum hilang juga.
Dalam kondisi seperti itu, Karlan tetap bertahan. Ia menjadi palang pintu yang tersisa dari kesenian topeng sandur. Sejumlah kelompok lain sudah berguguran sejak tahun 1990-an. Kelompok-kelompok ini agak sulit menjual peralatan pentas mereka. Bagi Karlan, dia mempertahankan topeng sandur karena itu satu-satunya seni asli produk Desa Manduro. Komunitas etnis Madura adalah yang paling dominan di desa tersebut.
“Kalau kesenian seperti karawitan kan banyak. Topeng sandur ini Cuma ada satu, ya disini” kata Karlan yang dikaruniai delapan cucu dari lima orang anak buah pernikahannya dengan Wasinah (73) itu.
Sejak tahun 1945, kakek kelahiran Desa Gesing, Kabuh, Jombang pada tahun 1938 ini, mendedikasikan seluruh hidupnya pada kesenian topeng sandur. Karlan yang buta huruf dan mempelajari topeng sandur dari Ayahnya (Selo), ini mengaku tidak mudah mempelajari kesenian itu. Mardianto yang berusaha meneruskan jejak sang ayah mengamini hal itu.
Mardianto yang mulai belajar topeng sandur sejak tahun 1980 baru merasa mulai menguasai kesenian itu tahun 1991. “Bagian paling sulit itu menganyikan Kidungnya” kata Mardianto. Kidungnya dalam bahasa Madura yang bentuknya nyaris seperti berbalas pantun.
Karlan adalah generasi ketiga seniman topeng sandur di desa itu. Tiga dari total 12 orang yang terlibat dalam kelompok kesenian yang dipimpinnya itu adalah para pemuda berusia 30-an tahun. Umumnya mereka anak-anak seniman topeng sandur pada Era Karlan. “Soalnya yang mau belajar ya yang laki-laki” urai Karlan soal tidak adanya perempuan di kelompok keseniannya.
Padahal salah satu diantara 8 topeng sandur yang biasanya dipentaskan dalam durasi tiga jam itu adalah Tokoh Perempuan.
Secara urutan, pementasan topeng sandur biasa diawali pemberian sesaji, seperti telurayam kampung mentah, kemenyan, gula merah, dan sejumlah jajan pasar. Sesaji itu dilengkapi pembacaan rapal khusus dalam bahasa Madura.
Pementasan dibuka dengan laga seorang penari yang mengenakan topeng utama bernama Kelono Wijoyo, diiringi rancak musik dari dua kendang, satu terompet, dan satu gong bambu yang ditiup. Urutan kedua, penari dengan topeng bernama tokoh Gunungsari yang Secara urutan, pementasan topeng sandur biasa diawali pemberian sesaji, seperti telur dilanjutkan dengan sogolan, yang berupa percakapan tiga buruh tani seputar masalah pertanian, dan biasanya berdurasi sekitar satu jam.
Kemudian, diteruskan dengan tarian bapang, tarian panji yang juga dengan topeng berbeda, tarian tandak yang membutuhkan topeng perempuan dengan gerakan gemulai. Lalu, tarian jalang dan tarian jaranan dengan bentuk topeng menyerupai kepala kuda. Babak terakhir adalah pementasan sejumlah tuan tanah dan para pemilik modal yang tengah berburu.
Dengan kondisi saat ini, tak mustahil topeng sandur memasuki babak akhir sesungguhnya. Akan tetapi, di tengah situasi sulit ini Karlan masih menyimpan koleksi topeng sandur yang terbuat dari kayu mentaos (Wrightia javanica DC) yang berbentuk pipih. Karlan kini tetap setia menanti order pentas, yang berarti juga menjaga agar seni topeng sandur tetap lestari.