Info Budaya : Mujiono adalah salah satu tokoh penari Remo yang dimiliki oleh Kabupaten Jombangan. Sebagai penari Remo sangat kental dengan teknik dan gaya Boletannya. Nama Mujiono sebagai tokoh penari Remo gaya Jombangan, dikenal masyarakat sebagai murid Sastro ’Bolet’ Amenan. Melalui kiprah Mujiono pula Tari Remo Gaya Boletan akhirnya dapat lebih memasyarakat dan tetap eksis hingga masa sekarang ini.
Mujiono lahir pada tahun 1949 di Desa Kepung, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Ia dilahirkan di tengah keluarga besar (10 bersaudara), dengan pola hidup yang sangat sederhana, dan kedua orang tuanya bekerja sebagai petani. Dari 10 bersaudara tersebut Mujiono merupakan satu-satunya anak yang bergelut di dunia kesenian.
Perjalanan Mujiono dalam berkiprah di dunia kesenian dimulai sejak usia muda dengan mengikuti kesenian Ludruk. Pada tahun 1967 Mujiono yang berusia 18 tahun tertarik pada salah satu kelompok Ludruk dari Nganjuk yang sedang mengadakan pementasan keliling di daerahnya. Lama-kelamaan ketertarikan Mujiono terhadap kesenian Ludruk semakin besar, sehingga selalu mengikuti setiap pementasan Ludruk dari Nganjuk tersebut.
Hingga pada akhirnya Mujiono memberanikan diri untuk bergabung dalam kelompok tersebut. Untung saja kedua orang tuanya tidak keberatan terhadap minat Mujiono untuk menggeluti dunia seni Ludruk. Selama tujuh tahun Mujiono belajar dan mengolah rasa terutama seni gerak (Tari Remo) di kelompok tersebut, dan di kelompok Ludruk ini pula Mujiono menemukan istrinya yang pada waktu itu sama-sama sebagai anggota/pemain Ludruk.
Dalam perjalanan berkesenian selanjutnya, terdorong oleh rasa igin tahu yang lebih banyak terhadap kesenian Ludruk, maka ia berupaya untuk belajar menimba ilmu dan pengalaman dari kelompok Ludruk yang lain.
Pada waktu itu pilihan jatuh pada kelompok Ludruk Kopasgat yang menurut Mujiono memiliki bentuk pertunjukan yang lebih menarik, dan akhirnya bergabunglan ia dalam kelompok Ludruk Kopasgat tersebut.
Di kelompok Ludruk Kopasgat Mujiono tidak bisa bergabung dengan lama, selanjutnya pada tahun 1974 Mujiono pindah bergabung dengan kelompok Ludruk Gaya Baru Jombang. Dalam kelompok Ludruk Gaya Baru inilah Mujiono bertemu dengan penari Remo yang sangat legendaris yaitu Sastro ’Bolet’ Amenan.
Sejak tertarik pada dunia Ludruk, Mujiono telah mengenal sosok Sastro ’Bolet’ Amenan sebagai seorang penari Remo (lazim disebut ”pengreman”) yang sangat terkenal dengan gaya ngremonya yang kaya dengan pengolahan pola gerak dinamis, dengan teknik yang sangat khas dan terkesan tidak membosankan.
Oleh karena itulah, pada saat bertemu langsung dengan Sastro ’Bolet’ Amenan (sang ’pengreman’ idolanya) dalam kelompok Ludruk Gaya Baru, Mujiono sangat bersyukur. Kesempatan yang baik tersebut tidak disia-siakan oleh Mujiono, dan ia memberanikan diri mengajukan lamaran kepada Sastro ’Bolet’ Amena untuk diterima sebagai muridnya. Sastro Bolet Amenan tidak keberatan dan diangkatnya Mujiono menjadi muridnya.
Sejak saat itu Mujiono mulai belajar Tari Remo gaya Bolet, dan waktu untuk belajarnya dilakukan pada saat senggang selama hidup di tobong. Selain itu, apabila ada liburan tidak dalam masa pementasan Mujiono diajak pulang ke rumah Sastro ’Bolet’ Amenan untuk lebih memperdalam teknik gerak.
Sebagaimana yang dilakukan para seniman terdahulu, bahwa bila belajar sesuatu (termasuk tari Remo) berarti harus mau melakukan segala macam penunjangnya. Bagi seniman tradisional, untuk belajar tari Remo bukan berarti hanya belajar teknik gerak saja, tetapi harus disertai dengan laku tirakat.
Selama dalam belajar dan menjadi murid Sastro ’Bolet’ Amenan, Mujiono diharuskan juga belajar menahan rasa kantuk, tahan lapar, selalu berdo’a dan banyak lagi aturan yang harus ditaati. Selama berguru pada Sastro ’Bolet’ Amenan banyak wejangan-wejangan (ilmu-ilmu) yang didapatkan Mujiono, diantaranya yang masih dapat diingat yaitu:
”jange ngecakno ngadepi wong akeh iku kudu ngamalno iki sing ngucap karo sing mbok lakoni saben dino iki, kudu sigrak gerak’e, mimik’e kudu mesem ngguyu ojo’ sampek ngremo iku sepaneng koyo wong moring-moring, dadi ayolah seakan-akan publik iku ditarik mesem ngguyu. Remo iku memang tema pahlawan tapi ayolah ngrangkul sing nonton iku dijak nguyu”
(Akan melaksanakan tugas menghadapi orang banyak itu harus melaksanakan amalan apa yang diucapkan harus sama dengan yang dilaksanakan tiap hari ini (berdo’a). Harus lincah geraknya, ekspresip mimiknya, harus tersenyum jangan sampai menari Remo itu tegang seperti orang marah-marah. Jadi ayolah seakan-akan masyarakat (penonton) itu diajak tersenyum. Remo itu memang tema pahlawan tetapi harus bisa merangkul penonton itu diajak tertawa)
Sebagai seorang seniman Mujiono merasa bersyukur telah diberi kesempatan oleh Sastro ’Bolet’ Amenan untuk menyerap ilmu tarinya. Namun sebagai seniman, Mujiono merasa belum puas dengan kemampuan dan pengalaman yang telah dimiliki dalam menggeluti seni Ludruk.
Untuk menambah pengalaman dalam berkesenian, pada tahun 1976 Mujiono juga mencoba mengembangkan kemampuan diri menjelajahi seni lain yakni belajar menjadi dalang kepada Dalang Soleman di Desa Porong Sidoarjo. Tidak lama setelah itu, Sastro ’Bolet’ Amenan meninggal, tepatnmya tanggal 17 Agustus 1976.
Sepeninggal Sastro ’Bolet’ Amenan maka Tari Remo Gaya Bolet juga ikut tenggelam, dan akhirnya pada tahun 1980 Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jombang berusaha melakukan rekonstruksi. Pada waktu itu, Madun sebagai seorang pengendang yang pernah mengiringi Sastro ’Bolet’ Amenan menarikan tari Remo diberi tugas oleh Dinas P dan K Jombang untuk melakukan rekonstruksi.
Dalam melakukan tugas tersebut Madun sempat kesulitan untuk mencari penari yang mampu membawakan tari Remo gaya Bolet. Statu ketika Madun teringat pada sosok Mujiono yang dulu pernah menjadi murid Sastro ’Bolet’ Amenan.
Menurut Madun, Mujiono memiliki kemampuan menarikan Tari Remo gaya Bolet, dan akhirnya Mujiono yang saat itu sedang ada di Porong Sidoarjo dijemput untuk pulang ke Jombang. Setelah Madun berhasil membawa pulang Mujiono ke Jombang maka bersama Mujiono dan dibantu seorang Lurah dari Desa Geneng yang kebetulan sangat berminat pada Tari Remo gaya Bolet mulai melakukan rekonstruksi terhadap bentuk Tari Remo Gaya Bolet.
Seperti diakui oleh Mujiono bahwa, “pada waktu itu sepeninggal Pak Bolet, Tari Remo Bolet tidak pernah muncul lagi, maka saya bersama Madun dan Lurah Geneng setuju beberapa hari merekonstruksi kembali gerakan-gerakan Bolet. Akhirnya melalui Mujiono sebagai penarinya berhasil menemukan bentuk Tari Remo gaya Bolet
Sejak saat itu Mujiono terus mengembangkan kemampuan teknik gerak tari remo gaya Bolet dan akhirnya berulang kali mendapat penghargaan atas prestasinya sebagai penari Remo terbaik dengan membawakan gaya Bolet. Berbagai prestasi tersebut di antaranya sebagai berikut.
- 1985 Festival Tari Remo se Propinsi Jawa Timur Juara III
- 1997 Festival Tari Remo Jawa Timur di Malang Juara II
- 1999 Festival Nasional di THR Juara I.
- 2004 Festival Tari Remo Jawa Timur di Nganjuk Predikat 10 Penyaji Terbaik
Selain kegiatan-kegiatan festival, Mujiono sering diminta untuk memberi materi untuk kegiatan workshop. Seperti yang telah dilaksanakan oleh Dinas Pemuda, Olah Raga, Budaza dan Pariwisata pada tahun 2007, Mujiono diminta untuk memberikan pelatihan Tari Remo Bolet pada guru-guru seni tingkat SD-SMP dan SMA/SMK se Kabupaten Jombang.
Pelatihan ini dimaksudkan untuk meluruskan kembali tari Remo Bolet agar guru-guru dalam mengembangkan tari Remo Bolet tidak jauh dari aslinya. Selain itu pelatihan dimaksudkan untuk memasyarakatkan tari Remo Bolet bagi guru-guru seni yang kemudian harus teruskan kepada anak didiknya, sehingga anak didiknya mengenal tari Remo Bolet sebagai ikon kesenian Jombang. (Sumber DK-Jatim)